By :tanitam@130619
Berbunga bias kata tersurat
Menusuk selaput lembar terkoyak
Tiada arah kautujukan
Mengoyak sukma yang peka
Menjurus sajalah ungkap
Pribadi tepat dibidikan
Kurangi beban terluka
Tiada fitnah tercipta
Bijaksana mengayuh biduk
Bahtera kukuh menantang
Serasi habitat tercipta
Damai sekitar terbentuk nyata
Apakah yang engkau kesalkan
Tumpah berserak hambur berantakan
Biar bicaralah pasti
Bangun serasi guyub sekitar
Hati yang kuat tiada perduli
Karena tujuan tidak berubah
Sayang disayang tahta bergoyang
Sebab tuturan kata salah tertuju
Saturday, July 13, 2013
Wednesday, June 19, 2013
Hembusan Angin Asa
by: tanitam@130619
Daun jatuh tertiup angin
Tiada daya melawan hembusan
Terdiam namun bergerak
Terpuruk makin tersudut
Burung camar melawan angin
Pasrah indah seirama sepoian
Bersandar kepakan sayap
Tak lelah mencapai tujuan
Tupai meniti ranting lincah
Ekor coklat menjuntai lentur
Kemana kau ingin pergi
Pijak ringan bagai seindah tembang
Duhai diri yang sedang berhijrah
Buang jauh semua keraguan
Ringan kaki melangkah
Panjat segala asa
Buaian bukan jawaban
Janji pasti terpegang teguh
Pasrah bukan tanpa usaha
Capai janji hari akhir

Tuesday, November 13, 2012
Menyapa, Membuka Pintu Dunia
Saya mengadakan riset kecil-kecilan, yaitu dengan menyapa orang yang tidak dikenal di jalan. Reaksi yang terjadi belum tentu seperti prediksi kita, dapat menambah wawasan psikologi awam.
Ketika bertempat tinggal di Ankara,
Turki, setiap 2 kali seminggu saya sempatkan jalan di hutan dekat tempat
tinggal saya. Hutan tersebut sangat nyaman untuk warga berolahraga sepanjang
hari, baik di musim salju maupun musim panas. Minimal dalam 1 jam berjalan atau
berlari saya berpapasan dengan 25 orang. Ketika sedang menjalankan aksi sapa,
tidak memandang usia, semua saya tegur. "Gunaydin", "Iyi
Gunlar" ("Good morning", "Have a nice day"). Sebagian
besar mereka menyapa kembali, mungkin dari kultur budaya orang Turki yang senang
bersapaan, namun persentasenya lebih banyak warga yang sudah separuh baya
membalas sapaan saya, baik wanita maupun pria. Untuk yang lebih muda, biasanya
mereka ragu untuk membalas sapaan saya, mungkin karena saya "yabanci"
(orang asing).
Kebiasaan berlari atau berjalan di
hutan kota, saya lanjutkan ketika saya kembali ke rumah tinggal saya di kawasan
Serpong. Beruntung saya tinggal di kawasan ini karena sisi pejalan kaki
tersedia sepanjang kawasan dan dinaungi dengan pepohonan yang rindang.
Otomatis setelah lama tinggal di
Ankara, saya menjadi warga baru lagi di lingkungan rumah tinggal ini. Banyak
orang yang tidak saya kenal berpapasan dengan saya di area pejalan kaki ini.
Saya lanjutkan aksi sapa saya kepada orang yang belum saya kenal di jalan.
Ternyata sebagian besar reaksinya adalah ragu untuk membalas, walau saya senang
karena beberapa orang tanpa ragu balas sapaan saya meskipun hanya dengan
tersenyum.
Pagi ini, ketika saya sudah letih
berlari, sambil melamun saya berjalan pulang, malah saya yang dikejutkan oleh
sapaan ibu2 penyapu jalan, "berolah raga, bu?" Spontan saya jawab,
"iya bu, mari." Senang sekali saya disapa seperti itu. Langsung
melunturkan teori saya tentang orang Indonesia yang sudah malas beramah tamah.
Sekitar 7 tahun yang lalu, selama
setahun saya terpisah dengan suami saya karena alasan pekerjaan. Suami bekerja
di Surabaya dan saya di Tangerang. Setiap 2 minggu di akhir pekan saya menengok
suami di Surabaya dengan pesawat terbang. Pada setiap kesempatan tidak saya
sia-siakan untuk tidak menegur teman duduk saya di bangku sebelah. "Selamat
sore, pak/bu, apakah bapak/ibu tinggal di Surabaya?" Biasanya inilah
kalimat pembuka saya untuk menyapa orang. Reaksi yang saya dapatkan sangat
bervariasi, ada yang hanya menjawab seperlunya, tapi ada juga yang jadi
bercerita panjang lebar tentang dirinya bahkan sedikit curhat. Ha ha
ha....enggak apa-apa, setidaknya saya punya pembanding antara kisah hidupnya
dengan kisah hidup saya sendiri, yang pada akhirnya saya selalu bersyukur
bagaimana Allah sangat sayang telah memberikan yang lebih baik kepada saya.
Suatu ketika saya mendapatkan teman
seperjalanan seorang bapak yang sangat serius dengan bisnisnya. Reaksi pertama
dari sapaan saya adalah hanya iya atau tidak. Karena tidak dapat respon yang
hangat, maka saya penasaran pengen mengupas lebih jauh lagi, tipe bapak seperti
apakah orang ini? Makanya tanpa ditanya saya lanjut saja bercerita bagaimana
senangnya saya dan keluarga pergi ke Taman Safari Jawa Timur. Rupanya bapak
tersebut tidak pernah mengajak keluarganya berjalan-jalan selain ke mall di
Surabaya, karena alasan kesibukan bisnisnya. Anak2nya sekitar 5 tahun dan
7 tahun, istrinya adalah ibu rumah tangga. Timbul gagasan misi untuk membantu
istri dan anak-anaknya supaya diajak berpergian dengan lebih menyenangkan
(menurut saya), maka dengan gaya yang menarik saya pengaruhi bagaimana liburan
yang berbeda dapat diciptakan dengan tidak sekedar jalan di mall. Rupanya
cerita saya ini menggugah perhatiannya, sehingga perjalanan sekitar 1 jam itu
menjadi sangat mengasyikkan. Di akhir perjalanan, dengan antusias bapak
tersebut bertekad untuk membawa keluarga berlibur tidak hanya ke mall. Yes,
terbayang wajah bahagia keluarganya di rumah apabila bapak yang sibuk ini
menawarkan liburan yang berbeda.
Dengan menyapa orang yang belum
dikenal, lebih memberikan efek positif bagi saya. Walaupun kisah yang
dituturkan lawan bicara tidak selalu beraura positif. Pada akhirnya saya
dapat menginti-sarikan satu benang merah kehidupan. Dimana sebenarnya
kebahagiaan kita adalah tentang diri kita sendiri. Kalau lawan bicara kita
sedang punya masalah, ada aura negatif yang jangan turut kita serap, tapi malah
kita netralkan.
Pada suatu ketika, saya mengantarkan tamu yang berlibur ke Capadocia. Dimana tempat wisata ini sangat terkenal di seluruh dunia sehingga turisnyapun selalu dari pelosok belahan dunia. Saya sendiri sudah beberapa kali berkunjung ke tempat wisata itu sehingga yang menarik buat saya adalah keberagaman pengunjungnya. Melihat ada rombongan dari Indonesia, saya mencoba menyapa dengan bertanya kepada salah seorang dari rombongan yang sedang berjalan di tangga," Bapak dari Indonesia ya?" Bukannya mau ngagetin, tapi ko' sepertinya bapak yang kira-kira berusia 30 tahun itu terkejut disapa saya dalam bahasa Indonesia. Dan jawabannya pun adalah, "Yes, we are from Indonesia." Kali ini saya yang terkejut, bapak ini tadi ngomong sama temennya pake bahasa Indonesia, tapi ko' disapa saya yang juga orang Indonesia jadi pake bahasa Inggris ya?? Mungkin harus begitu ya reaksinya disapa orang yang belum dikenal di negeri asing. Ha ha ha... setiap mengenang kejadian itu saya tergelak sendiri. Keinginan saya untuk ngobrol dengan berbasabasi ala Indonesia jadi gagal, karena bapak tadi sepertinya tidak berani saya sapa, dia langsung ngeloyor ninggalin saya bergabung dengan rombongannya. Hhhmm.... saya malah kasihan sama dia, sebetulnya apa yang mengancam dia dalam hidupnya ya?
Saya pernah tidak yakin dengan
penampilan 3 orang lelaki tanggung berbadan tegap yang mau tidak mau pasti
berpapasan di area pejalan kaki sekitar rumah. Sudah dari jarak 20 langkah saya
yakinkan hati bahwa mereka adalah orang-orang baik, dengan sedikit keraguan dalam
menilai penampilan mereka. Niat menjalankan aksi sapa hampir luntur, tapi
dengan berdoa supaya semua berjalan positif, saya sapa juga rombongan tersebut
dengan detak jantung tak karuan. Plong!! Mereka membalas sapaan saya dengan
manis tanpa ada sedikitpun kesan menggoda.
Tuesday, August 7, 2012
Bukan Kelam Ku
Mengapa kau pilih warna hitam, kawan
Sementara warna cerah bisa juga kau jadikan warnamu
Mengapa kau begitu membara, sobat
Sementara angin sejuk beranjak dingin di luar sana
Tidakkah ingin kau nikmati taman yang penuh bunga ini
Tidakkah ingin kau merangkul sahabat lebih dari bentangan tanganmu
Kalau saja kau memaknai hidup yang fana ini
Maka akan terasa kurang waktu untuk memeliharanya
Semut rang-rang ingin juga hidup
Meski dia dapat menyengatmu sakit
Namun Jerapah dengan leher tinggi menjulang
Bisa juga merendahkan kepalanya
Ragukah akan pesona jiwa yang tulus
Dimana simpul-simpul dapat terurai lepas
Tangan-tangan lembut begitu ringan menari
Meredam kilatan dalam kalbu
Jadikan badaimu awan selembut kapas
Jadikan sinar auramu semeriah pelangi
Bersama mentari terangi setiap relung hati
Menyaksikan rembulan bercahaya di langit yang kelam
Puisi : Bukan kelam ku
Ankara, 7 Agustus 2012
Monday, July 16, 2012
Gado-gado Umroh
Perjalanan
Umroh di bulan Januari sangatlah menyenangkan. Udara sejuk, sekitar 12 drajat C di Mekah dan 4 drajat C di
Medinah. Pada tanggal 18 Januari 2012, kami sekeluarga melakukannya, sesuai dengan
rencana kami sejak 2 tahun lalu.
3 jam terbang
dari Istanbul, kami segera mendarat di Jedah pukul 2 dini hari, kami langsung
melakukan ibadah umroh.
Berikut adalah
beberapa catatan dan buah pikiran selama saya berada di Mekah, Medinah dan
Jeddah.
Kalau kamu mau
dikenali sebagai muslimah dari Indonesia di Mekah atau Medinah, pakailah
mukena, penutup kepala yang sangat tegas menunjukkan identitas kita (walau bisa
mirip juga dengan muslimah dari Malaysia). Saya sendiri senang menunjukkan hal
ini apabila sedang melaksanakan ibadah sholat di Masjidil Haram maupun di
Nabawi. Karena muslimah lokal atau dari Negara Arab lainnya seperti punya
kesepakatan mode, menggunakan hijab berwarna hitam. Sangat mudah untuk janjian
dengan Chani (anak tertua saya) apabila terpisah di keramaian Masjid. Dengan
melihat mukena putih di antara lautan warna hitam Chani langsung dapat
mengenali saya.
Ada cerita lucu
pada saat saya sedang berjalan-jalan di pertokoan di sekitar mesjid Nabawi.
Pada saat itu saya mengenakan abaya berkembang dan kerudung bergaya Turki,
maklum karena sudah 2 tahun terakhir kami tinggal di Ankara, maka baju
muslimpun saya lengkapi dari pasar Ulus. Melihat muka saya yang agak oriental,
ada 2 orang TKW yang sedang membahas saya dengan bahasa Indonesia yang agak
keras. “Eh…lihat
deh mba, orang di sebelah kirimu,” kata mba yang bertubuh sedang kepada
temannya. “Kira-kira orang mana ya?” sambungnya. Dengan ringan si mba satunya
menjawab, “Sepertinya orang itu berasal dari Negara Ce-I-eN-A deh.” Saya pun
langsung tersenyum dan dalam hati terbahak, tanpa berniat untuk membenarkan
dugaan mereka terhadap saya. Mungkin akan berbeda dugaan mereka terhadap saya
apabila saya mengenakan mukena pada saat itu.
Pemandangan
yang agak mencengangkan saya ketika di mesjid Nabawi. Terakhir Sholat disana
adalah tahun 2001, sudah sebelas tahun lalu, dengan segala perubahannya.
Sekarang ada toko baju anak muda yang sangat terkenal dari Swedia, persis di
pintu masuk mesjid. Ketika saya berkesempatan mampir, terlihat antrian panjang
di depan kasir, namun semuanya memakai hijab hitam. Terbayang dalam pikiran
saya, bahwa di balik baju hitam itu, anak-anak muda yang modis ini sebetulnya
berpakaian anak gaul seperti remaja pada umumnya di Jakarta atau di
Ankara.
Monday, July 9, 2012
Cerita Singkong di Ankara
Setelah tinggal selama 2,5 tahun di Ankara, Turki, ada kesempatan 2 kali pulang ke Indonesia. Namun setiap kesempatan ke tanah air tidak menjadi target khusus untuk mencari singkong. Tanaman ubi kayu ini tidak tumbuh di negara berbendera Bulan Sabit dan Bintang ini.
Sambil menikmati pemandangan kota, saya tertarik untuk mengamati semak-semak yang tumbuh liar di beberapa pojok taman. Ya... saya yakin sekali bahwa tanaman itu adalah tanaman singkong, tapi tidak sebagai tanaman yang dipanen. Mencari tahu kemungkinan tersedianya singkong di kota Beirut, saya berburu ke supermarket mencari keberadaannya. Ya... sekali lagi dugaan saya terbukti, ada singkong dijual. Tanpa ragu saya beli 9 kg, untuk kami bawa pulang nanti ke Turki.
Sesampainya di Ankara, bertepatan dengan diadakannya beberapa pertandingan bagi masyarakat Indonesia, dalam rangka memeriahkan acara 17 Agustus, saya mempersiapkan cemilan singkong goreng. Harum khas singkong yang digoreng membangkitkan ingatan masa kecil saya, persis ketika membeli gorengan di pedagang pikulan keliling... hmm masa kecil selalu indah untuk dikenang.
Walau tidak terlalu panas lagi, namun menikmati singkong goreng di Turki, bisa menjadi hiburan kuliner tersendiri. Apalagi dinikmati bersama cocolan sambel terasi dan disantap beramai-ramai.
Wednesday, May 23, 2012
Kisah Baju bermotif Bunga
1988 beli kain bermotif bunga berdasar biru di pasar Atom, Surabaya
1988 jahit baju bermotif bunga berdasar biru di Semolo Waru, Surabaya
Baju bermotif bunga berdasar biru ku suka
Baju bermotif bunga berdasar biru ku pakai
Baju bermotif bunga berdasar biru ku longgar
Baju bermotif bunga berdasar biru ku sempit
Favorit ........................
Favorit sepanjang masa
1992 baju bermotif bunga berdasar biru masih kusuka, kupakai sampai anakku lahir di Palembang
1988 jahit baju bermotif bunga berdasar biru di Semolo Waru, Surabaya
Baju bermotif bunga berdasar biru ku suka
Baju bermotif bunga berdasar biru ku pakai
Baju bermotif bunga berdasar biru ku longgar
Baju bermotif bunga berdasar biru ku sempit
Favorit ........................
Favorit sepanjang masa
1992 baju bermotif bunga berdasar biru masih kusuka, kupakai sampai anakku lahir di Palembang
Favorit ........................
Favorit sepanjang masa
2012 baju bermotif bunga berdasar biru dipakai anakku kuliah di Ankara
Kisah perjalanan panjang baju bermotif bunga berdasar biru 24 tahun,
Subscribe to:
Posts (Atom)