Tuesday, November 13, 2012

Menyapa, Membuka Pintu Dunia


     Saya  mengadakan riset kecil-kecilan, yaitu dengan menyapa orang yang tidak dikenal di jalan. Reaksi yang terjadi belum tentu seperti prediksi kita, dapat menambah wawasan psikologi awam.


     Ketika bertempat tinggal di Ankara, Turki, setiap 2 kali seminggu saya sempatkan jalan di hutan dekat tempat tinggal saya. Hutan tersebut sangat nyaman untuk warga berolahraga sepanjang hari, baik di musim salju maupun musim panas. Minimal dalam 1 jam berjalan atau berlari saya berpapasan dengan 25 orang. Ketika sedang menjalankan aksi sapa, tidak memandang usia, semua saya tegur. "Gunaydin", "Iyi  Gunlar" ("Good morning", "Have a nice day"). Sebagian besar mereka menyapa kembali, mungkin dari kultur budaya orang Turki yang senang bersapaan,  namun persentasenya lebih banyak warga yang sudah separuh baya membalas sapaan saya, baik wanita maupun pria. Untuk yang lebih muda, biasanya mereka ragu untuk membalas sapaan saya, mungkin karena saya "yabanci" (orang asing).


     Kebiasaan berlari atau berjalan di hutan kota, saya lanjutkan ketika saya kembali ke rumah tinggal saya di kawasan Serpong. Beruntung saya tinggal di kawasan ini karena sisi pejalan kaki tersedia sepanjang kawasan dan dinaungi dengan pepohonan yang rindang.
Otomatis setelah lama tinggal di Ankara, saya menjadi warga baru lagi di lingkungan rumah tinggal ini. Banyak orang yang tidak saya kenal berpapasan dengan saya di area pejalan kaki ini. Saya lanjutkan aksi sapa saya kepada orang yang belum saya kenal di jalan. Ternyata sebagian besar reaksinya adalah ragu untuk membalas, walau saya senang karena beberapa orang tanpa ragu balas sapaan saya meskipun hanya dengan tersenyum.
Pagi ini, ketika saya sudah letih berlari, sambil melamun saya berjalan pulang, malah saya yang dikejutkan oleh sapaan ibu2 penyapu jalan, "berolah raga, bu?" Spontan saya jawab, "iya bu, mari." Senang sekali saya disapa seperti itu. Langsung melunturkan teori saya tentang orang Indonesia yang sudah malas beramah tamah.


     Sekitar 7 tahun yang lalu, selama setahun saya terpisah dengan suami saya karena alasan pekerjaan. Suami bekerja di Surabaya dan saya di Tangerang. Setiap 2 minggu di akhir pekan saya menengok suami di Surabaya dengan pesawat terbang. Pada setiap kesempatan tidak saya sia-siakan untuk tidak menegur teman duduk saya di bangku sebelah. "Selamat sore, pak/bu, apakah bapak/ibu tinggal di Surabaya?" Biasanya inilah kalimat pembuka saya untuk menyapa orang. Reaksi yang saya dapatkan sangat bervariasi, ada yang hanya menjawab seperlunya, tapi ada juga yang jadi bercerita panjang lebar tentang dirinya bahkan sedikit curhat. Ha ha ha....enggak apa-apa, setidaknya saya punya pembanding antara kisah hidupnya dengan kisah hidup saya sendiri, yang pada akhirnya saya selalu bersyukur bagaimana Allah sangat sayang telah memberikan yang lebih baik kepada saya.

     Suatu ketika saya mendapatkan teman seperjalanan seorang bapak yang sangat serius dengan bisnisnya. Reaksi pertama dari sapaan saya adalah hanya iya atau tidak. Karena tidak dapat respon yang hangat, maka saya penasaran pengen mengupas lebih jauh lagi, tipe bapak seperti apakah orang ini? Makanya tanpa ditanya saya lanjut saja bercerita bagaimana senangnya saya dan keluarga pergi ke Taman Safari Jawa Timur. Rupanya bapak tersebut tidak pernah mengajak keluarganya berjalan-jalan selain ke mall di Surabaya, karena alasan kesibukan bisnisnya.  Anak2nya sekitar 5 tahun dan 7 tahun, istrinya adalah ibu rumah tangga. Timbul gagasan misi untuk membantu istri dan anak-anaknya supaya diajak berpergian dengan lebih menyenangkan (menurut saya), maka dengan gaya yang menarik saya pengaruhi bagaimana liburan yang berbeda dapat diciptakan dengan tidak sekedar jalan di mall. Rupanya cerita saya ini menggugah perhatiannya, sehingga perjalanan sekitar 1 jam itu menjadi sangat mengasyikkan. Di akhir perjalanan, dengan antusias bapak tersebut bertekad untuk membawa keluarga berlibur tidak hanya ke mall. Yes, terbayang wajah bahagia keluarganya di rumah apabila bapak yang sibuk ini menawarkan liburan yang berbeda.

     Dengan menyapa orang yang belum dikenal, lebih memberikan efek positif bagi saya. Walaupun kisah yang dituturkan lawan bicara tidak selalu beraura positif.  Pada akhirnya saya dapat menginti-sarikan satu benang merah kehidupan. Dimana sebenarnya kebahagiaan kita adalah tentang diri kita sendiri. Kalau lawan bicara kita sedang punya masalah, ada aura negatif yang jangan turut kita serap, tapi malah kita netralkan.


     Pada suatu ketika, saya mengantarkan tamu yang berlibur ke Capadocia. Dimana tempat wisata ini sangat terkenal di seluruh dunia sehingga turisnyapun selalu dari pelosok belahan dunia. Saya sendiri sudah beberapa kali berkunjung ke tempat wisata itu sehingga yang menarik buat saya adalah keberagaman pengunjungnya. Melihat ada rombongan dari Indonesia, saya mencoba menyapa dengan bertanya kepada salah seorang dari rombongan yang sedang berjalan di tangga," Bapak dari Indonesia ya?" Bukannya mau ngagetin, tapi ko' sepertinya bapak yang kira-kira berusia 30 tahun itu terkejut disapa saya dalam bahasa Indonesia. Dan jawabannya pun adalah, "Yes, we are from Indonesia." Kali ini saya yang terkejut, bapak ini tadi ngomong sama temennya pake bahasa Indonesia, tapi ko' disapa saya yang juga orang Indonesia jadi pake bahasa Inggris ya?? Mungkin harus begitu ya reaksinya disapa orang yang belum dikenal di negeri asing. Ha ha ha... setiap mengenang kejadian itu saya tergelak sendiri. Keinginan saya untuk ngobrol dengan berbasabasi ala Indonesia jadi gagal, karena bapak tadi sepertinya tidak berani saya sapa, dia langsung ngeloyor ninggalin saya bergabung dengan rombongannya. Hhhmm.... saya malah kasihan sama dia, sebetulnya apa yang mengancam dia dalam hidupnya ya?

     Saya pernah tidak yakin dengan penampilan 3 orang lelaki tanggung berbadan tegap yang mau tidak mau pasti berpapasan di area pejalan kaki sekitar rumah. Sudah dari jarak 20 langkah saya yakinkan hati bahwa mereka adalah orang-orang baik, dengan sedikit keraguan dalam menilai penampilan mereka. Niat menjalankan aksi sapa hampir luntur, tapi dengan berdoa supaya semua berjalan positif, saya sapa juga rombongan tersebut dengan detak jantung tak karuan. Plong!! Mereka membalas sapaan saya dengan manis tanpa ada sedikitpun kesan menggoda.
Nah itulah persisnya yang saya maksud, dengan segala macam persepsi yang ada di kepala kita, kita tidak bisa menilai seseorang hanya dengan mengira-ngira. Setidaknya demikianlah cara kita mengintip ke dunia orang yang belum kita kenal tersebut dengan menyapanya.