Saturday, June 28, 2014

Di Balik Hujan

Tidak tenang hatiku mendengar hujan deras dan petir menggelegar sejak dini hari ini. Terbayang taksi yang belum kupesan semalam karena kutunda untuk dikerjakan pagi ini. Terbayang kemacetan yang akan menghadang di perjalanan menuju bandara nanti. Terbayang juga barang-barang yang akan dibawa belum terkumpul dalam koper. Penuh sesak kepala ini dengan pikiran yang menakutkan, takut ketinggalan pesawat ke Surabaya.

Bangun, langsung telpon untuk pesan taksi.....sibuk .....nada sibuk terus. Waaah bagaimana ini. Bangunin Chani supaya tidak terlambat, karena hujan masih terus turun di luar sana, tapi supir yang biasa mengantarnya belum datang juga.

Bangunin Yosi, dengan alasan yang sama, hanya dia agak siang jam kuliahnya.

Antar Chani ke lantai bawah, karena perlu bantuan bawa koper untuk kost di rumah tante Maya. Tapi supir belum datang juga. Harus maklum, karena hujan lebat memang bukan main di luar sana. 

Akhirnya datang, pak supir, kasihan, basah kuyup. Walau agak telat, berangkat juga  naik mobil menuju tempat aktivitasnya.

Kembali ke lantai atas untuk mencoba menghubungi taksi lagi, sibuk....nada sibuk terus..... Aarrrgh, apakah aku harus berjalan kaki ke bandara?

Okay.... harus tetap tenang dan berpikir satu persatu. 

"Kalau mama enggak dapat taksi, biar kuantar, ma," Yosi menawarkan diri, walau dia ada kuliah pagi ini. Agak teredam panikku, mendengar tawaran tersebut. Tapi kasihan kalau dia sampai tidak masuk kuliah hanya karena mengantarkanku.

Sebaiknya aku mandi dulu. Sambil dandan mencoba telpon taksi lagi..... masih nada sibuk. Baru kusadari korelasi antara hujan deras dengan sulitnya menghubungi taksi. Menyesal tidak kulakukan hal ini semalam. Beresin koper dulu deh. 

"Ma, jalanan di depan kompleks banjir," laporan pandangan mata Chani per telepon. Hai...bisa enggak berangkat nih kalo tambah tinggi airnya.

Coba telepon taksi lagi, ......yeaaayy, akhirnya dapat juga saya pesan taksi. Masih ada setengah jam lagi sebelum taksi datang.
Yosi pamit berangkat kuliah. "Terimakasih ya, Yos, atas kebaikan hatimu menawarkan jasa dan sedia berkorban." 

Masih ada waktu untuk membereskan, mengatur keperluan rumah dan mendelegasikan kepada asisten rumah tangga, sebelum berangkat. Done!

Jam 8, waktunya berangkat menuju Bandara Soekarno Hatta. Hujan masih turun deras. 
"Selamat pagi, bu," sapa supir taksi dengan ramah. 
"Selamat pagi, ke bandara ya , pak." 
"Baik bu, ibu pilih lewat mana?" 
"Lewat manapun yang enggak pake macet, pak." 
"Kita lewat tol aja ya, bu."
"Kenapa bapak milih jalah itu, alasannya?"
"Kalau saya disuruh spekulasi, saya milih jalan itu bu, kalau lewat belakang saya enggak jamin hambatannya dalam keadaan hujan begini."
"Oke, silahkan, pak," saya percaya saja, karena kan supir taksi yang paling tahu situasi di jalan. Hujan masih turun saja. Istilah kebanyakan orang, hujannya awet.
Hati masih juga gelisah karena ketidaktahuan tentang situasi jalan ke bandara.

Sambil di jalan, ngecek keberadaan anak-anak.

Selama di perjalanan, sempat macet di 2 titik. Beruntung, dengan kelihaian sang supir, dapat berkelit juga mengatasi simpul-simpul tersebut. 

Di bayang-bayang jalanan dan pepohonan yang masih basah di luar kaca jendela mobil taksi, saya mulai merenung dan menenangkan diri. Cuaca hati terbentuk karena faktor luar. Menyesal... beberapa pekerjaan saya tunda semalam, berakibat persiapan yang terburu-buru dengan adanya variable tambahan berupa hujan deras. 


Menarik nafas panjang dan menghelanya, ternyata kapanikan tidak perlu berlanjut, karena sebetulnya saya sudah mengambil toleransi waktu yang cukup untuk membuat saya tidak terlambat sampai di bandara. 


Hujan adalah hujan, mau deras atau berangin sudah berlangsung sejak dahulu kala. 

Saat yang tidak tepat menurut waktu kita, belum tentu bagi orang lain. Kalau hujan adalah salah satu variabel hambatan buat kamu, dengan perhitungan yang penuh toleransi pasti dapat kau atasi. Jadikan pengalaman rutin sebagai guru bagimu, tapi jangan pernah salahkan hujan untuk hari tak biasamu.

By : tanitam 140602