Monday, July 16, 2012

Gado-gado Umroh


       Perjalanan Umroh di bulan Januari sangatlah menyenangkan.  Udara sejuk, sekitar 12 drajat C di Mekah dan 4 drajat C di Medinah. Pada tanggal 18 Januari 2012, kami sekeluarga melakukannya, sesuai dengan rencana kami sejak 2 tahun lalu.

     3 jam terbang dari Istanbul, kami segera mendarat di Jedah pukul 2 dini hari, kami langsung melakukan ibadah umroh.
Berikut adalah beberapa catatan dan buah pikiran selama saya berada di Mekah, Medinah dan Jeddah.



     Kalau kamu mau dikenali sebagai muslimah dari Indonesia di Mekah atau Medinah, pakailah mukena, penutup kepala yang sangat tegas menunjukkan identitas kita (walau bisa mirip juga dengan muslimah dari Malaysia). Saya sendiri senang menunjukkan hal ini apabila sedang melaksanakan ibadah sholat di Masjidil Haram maupun di Nabawi. Karena muslimah lokal atau dari Negara Arab lainnya seperti punya kesepakatan mode, menggunakan hijab berwarna hitam. Sangat mudah untuk janjian dengan Chani (anak tertua saya) apabila terpisah di keramaian Masjid. Dengan melihat mukena putih di antara lautan warna hitam Chani langsung dapat mengenali saya.




     Ada cerita lucu pada saat saya sedang berjalan-jalan di pertokoan di sekitar mesjid Nabawi. Pada saat itu saya mengenakan abaya berkembang dan kerudung bergaya Turki, maklum karena sudah 2 tahun terakhir kami tinggal di Ankara, maka baju muslimpun saya lengkapi dari pasar Ulus. Melihat muka saya yang agak oriental, ada 2 orang TKW yang sedang membahas saya dengan bahasa Indonesia yang agak keras. “Eh…lihat deh mba, orang di sebelah kirimu,” kata mba yang bertubuh sedang kepada temannya. “Kira-kira orang mana ya?” sambungnya. Dengan ringan si mba satunya menjawab, “Sepertinya orang itu berasal dari Negara Ce-I-eN-A deh.” Saya pun langsung tersenyum dan dalam hati terbahak, tanpa berniat untuk membenarkan dugaan mereka terhadap saya. Mungkin akan berbeda dugaan mereka terhadap saya apabila saya mengenakan mukena pada saat itu.


     Pemandangan yang agak mencengangkan saya ketika di mesjid Nabawi. Terakhir Sholat disana adalah tahun 2001, sudah sebelas tahun lalu, dengan segala perubahannya. Sekarang ada toko baju anak muda yang sangat terkenal dari Swedia, persis di pintu masuk mesjid. Ketika saya berkesempatan mampir, terlihat antrian panjang di depan kasir, namun semuanya memakai hijab hitam. Terbayang dalam pikiran saya, bahwa di balik baju hitam itu, anak-anak muda yang modis ini sebetulnya berpakaian anak gaul seperti remaja pada umumnya di Jakarta atau di Ankara.


     Baru keluar dari masjidil haram selesai sholat ashar, di pelataran ada ibu-ibu muda berbisik di telinga saya, “mbak beli gado-gadonya, mbak.” Namun karena tidak menyangka akan ditegur dalam bahasa Indonesia, sayapun terus berjalan. Baru setelah beberapa langkah saya sadar bahwa penjaja makanan tadi khusus menawarkan dagangan dalam tas plastiknya kepada saya. Sayang perut tidak terlalu lapar saat itu, walaupun terbayang juga nikmatnya makan makanan dengan cita rasa Indonesia di Mekah. Berharap dilain kesempatan akan ada lagi penjaja makanan, ternyata saya tidak beruntung. Maklum saat itu bukan saatnya rombongan umroh dari Indonesia, jadi sedikit pula penjaja makanan yang beredar.





Monday, July 9, 2012

Cerita Singkong di Ankara

Setelah tinggal selama 2,5 tahun di  Ankara, Turki, ada kesempatan 2 kali pulang ke Indonesia. Namun setiap kesempatan ke tanah air tidak menjadi target khusus untuk mencari singkong. Tanaman ubi kayu ini tidak tumbuh di negara berbendera Bulan Sabit  dan Bintang ini.


Pada awal Juli 2012 berkesempatan mengikuti dinas suami ke Beirut.
Sambil menikmati pemandangan kota, saya tertarik untuk mengamati semak-semak yang tumbuh liar di beberapa pojok taman. Ya... saya yakin sekali bahwa tanaman itu adalah tanaman singkong, tapi tidak sebagai tanaman yang dipanen. Mencari tahu kemungkinan tersedianya singkong di kota Beirut, saya berburu ke supermarket mencari keberadaannya. Ya... sekali lagi dugaan saya terbukti, ada singkong dijual. Tanpa ragu saya beli 9 kg, untuk kami bawa pulang nanti ke Turki.


Sesampainya di Ankara, bertepatan dengan diadakannya beberapa pertandingan bagi masyarakat Indonesia, dalam rangka memeriahkan acara 17 Agustus, saya mempersiapkan cemilan singkong goreng. Harum khas singkong yang digoreng membangkitkan ingatan masa kecil saya, persis ketika membeli gorengan di pedagang pikulan keliling... hmm masa kecil selalu indah untuk dikenang.

Walau tidak terlalu panas lagi, namun menikmati singkong goreng di Turki, bisa menjadi hiburan kuliner tersendiri. Apalagi dinikmati bersama cocolan sambel terasi dan disantap beramai-ramai.