Perjalanan
Umroh di bulan Januari sangatlah menyenangkan. Udara sejuk, sekitar 12 drajat C di Mekah dan 4 drajat C di
Medinah. Pada tanggal 18 Januari 2012, kami sekeluarga melakukannya, sesuai dengan
rencana kami sejak 2 tahun lalu.
3 jam terbang
dari Istanbul, kami segera mendarat di Jedah pukul 2 dini hari, kami langsung
melakukan ibadah umroh.
Berikut adalah
beberapa catatan dan buah pikiran selama saya berada di Mekah, Medinah dan
Jeddah.
Kalau kamu mau
dikenali sebagai muslimah dari Indonesia di Mekah atau Medinah, pakailah
mukena, penutup kepala yang sangat tegas menunjukkan identitas kita (walau bisa
mirip juga dengan muslimah dari Malaysia). Saya sendiri senang menunjukkan hal
ini apabila sedang melaksanakan ibadah sholat di Masjidil Haram maupun di
Nabawi. Karena muslimah lokal atau dari Negara Arab lainnya seperti punya
kesepakatan mode, menggunakan hijab berwarna hitam. Sangat mudah untuk janjian
dengan Chani (anak tertua saya) apabila terpisah di keramaian Masjid. Dengan
melihat mukena putih di antara lautan warna hitam Chani langsung dapat
mengenali saya.
Ada cerita lucu
pada saat saya sedang berjalan-jalan di pertokoan di sekitar mesjid Nabawi.
Pada saat itu saya mengenakan abaya berkembang dan kerudung bergaya Turki,
maklum karena sudah 2 tahun terakhir kami tinggal di Ankara, maka baju
muslimpun saya lengkapi dari pasar Ulus. Melihat muka saya yang agak oriental,
ada 2 orang TKW yang sedang membahas saya dengan bahasa Indonesia yang agak
keras. “Eh…lihat
deh mba, orang di sebelah kirimu,” kata mba yang bertubuh sedang kepada
temannya. “Kira-kira orang mana ya?” sambungnya. Dengan ringan si mba satunya
menjawab, “Sepertinya orang itu berasal dari Negara Ce-I-eN-A deh.” Saya pun
langsung tersenyum dan dalam hati terbahak, tanpa berniat untuk membenarkan
dugaan mereka terhadap saya. Mungkin akan berbeda dugaan mereka terhadap saya
apabila saya mengenakan mukena pada saat itu.
Pemandangan
yang agak mencengangkan saya ketika di mesjid Nabawi. Terakhir Sholat disana
adalah tahun 2001, sudah sebelas tahun lalu, dengan segala perubahannya.
Sekarang ada toko baju anak muda yang sangat terkenal dari Swedia, persis di
pintu masuk mesjid. Ketika saya berkesempatan mampir, terlihat antrian panjang
di depan kasir, namun semuanya memakai hijab hitam. Terbayang dalam pikiran
saya, bahwa di balik baju hitam itu, anak-anak muda yang modis ini sebetulnya
berpakaian anak gaul seperti remaja pada umumnya di Jakarta atau di
Ankara.
Baru keluar dari masjidil haram selesai
sholat ashar, di pelataran ada ibu-ibu muda berbisik di telinga saya, “mbak
beli gado-gadonya, mbak.” Namun karena tidak menyangka akan ditegur dalam
bahasa Indonesia, sayapun terus berjalan. Baru setelah beberapa langkah saya
sadar bahwa penjaja makanan tadi khusus menawarkan dagangan dalam tas
plastiknya kepada saya. Sayang perut tidak terlalu lapar saat itu, walaupun
terbayang juga nikmatnya makan makanan dengan cita rasa Indonesia di Mekah.
Berharap dilain kesempatan akan ada lagi penjaja makanan, ternyata saya tidak
beruntung. Maklum saat itu bukan saatnya rombongan umroh dari Indonesia, jadi
sedikit pula penjaja makanan yang beredar.