Sunday, December 8, 2013

Sarang Nyaman

Semua mahluk hidup ingin hidup nyaman. 
Burung membangun sangkar untuk membuat hidupnya nyaman,
Kelinci liar membuat lubang di semak untuk membuat sarang sebagai rumah tempatnya pulang. Binatang ternakpun dibuatkan kandang agar bisa nyaman.

Sebagai manusia tentulah rumah merupakan kebutuhan yang paling mendasar.
Bagaimana kriteria rumah nyaman bagi seseorang, tentulah berlatarkan gaya hidup dari yang bersangkutan.

Dalam rangka menciptakan rumah nyaman ini, bagi kami sang "penjelajah"' mau tidak mau terasah keahlian kami untuk menciptakan "sarang".
Bagaikan burung yang sarangnya selalu terhembus angin besar, maka tiap kali pula sarang akan dibangun kembali.
Begitulah kami, setiap mendapat amanah untuk bertugas di tempat baru, salah satunya adalah kembali untuk berjuang menciptakan sarang nyaman kami.

Minimal sudah 8 kali kami berpindah tempat, sebanyak 8 kali pula kami menata rumah yang berbeda. Seiring dengan tumbuhnya keluarga kami, berbeda pula kebutuhan standar nyaman yang kami ciptakan.

Sarang pertama yang kami ciptakan adalah rumah kontrakan di Perumahan Bukit Sejahtera, Palembang. Bagi pengantin baru, dengan rumah berkamar 3, pastilah terasa sanggat longgar. Ada beberapa cara kreatif yang kami ciptakan untuk memenuhi kebutuhan perangkat rumah. Seperti meja yang terbuat dari kardus kulkas terbungkus taplak meja, tempat nangkringnya TV 14" kami, sebelum akhirnya berganti wujud dengan kabinet yang sebenarnya.


"Rumah-rumahan" tempat bermain anak pertama kami adalah kardus bekas mesin cuci yang kami lubangi untuk pintu dan jendela. Bukan hanya si anak yang senang, kami pun bahagia. Walau sederhana, namun rumah-rumahan ini sanggup bertahan sampai Chani pun bosan bermain dengannya.



Ketika harus menumpang di rumah orang tua di Jakarta, karena suami bertugas di daerah operasi di Georgia, saya dan anak-anak menempati bagian atas rumah dan membangun sarang nyaman kami. Walau hanya ukuran kamar 3mx6m, buat saya saat itu sangat nyaman sekali. Selain terdapat barang-barang memorable dari masa kanak-kanak, saya dapat pula menikmati masakan mama, dan selalu berada dekat dengan orangtua.

Ke kota Palembang kembali, di akhir tahun 1997, kami menempati rumah dinas di jalan Hang Jebat.  Menata rumah yang berbeda dengan barang-barang lama dari rumah di Palembang sebelumnya, memerlukan tantangan sendiri. Kursi yang semula kami tata dengan bentuk 'L', di sini kami harus letakkan dgn bentuk 'U'. 
Nyaman? Sudah pasti lah!
Satu hal yang harus dilakukan di Palembang adalah menampung air sesuai jam gilirannya. Kebetulan kami selalu kebagian giliran jam 22.00. Rata-rata rumah di Palembang memiliki bak penampungan yang besar (pada masa itu). Jadi setiap jam tsb, kami mulai menyalakan pompa air untuk memenuhi bak penampungan air, guna konsumsi sehari. 



Keistimewaan rumah kami ini adalah berada di atas bukit kecil, sehingga dibandingkan dengan tetangga depan, kami harus menaiki 17 anak tangga untuk sampai beranda atau mendaki jalan mobil menuju garasi. (Pada Foto di atas, adalah pandangan dari teras rumah bukit kami) 


Selanjutnya adalah Jakarta, kali ini kami menempati rumah dinas mertua yang kebetulan kosong. Dengan bangunan yang sangat  besar dan terdiri dari 2 lantai, kami menempati kamar di lantai atas. Batasan nyaman yang kami ciptakaan hanyalah sebatas ruangan yang kami pakai. Karena walaupun penghuni rumah hanya kami berempat, namun penataan ruangan lainnya bukanlah kuasa kami. 
Di rumah ini pula kami melalui masa kekacauan kota Jakarta, dari peristiwa digulingkannya Presiden Suharto akibat dari gerakan reformasi. 
Setelah itu tibalah masa dimana nilai mata uang rupiah merosot dibandingkan dengan US dolar. Menjadi suatu kebetulan yang menguntungkan, tabungan dolar kami menjadi cukup untuk membeli rumah. Maka jadilah rumah impian kami, rumah milik sendiri yang dapat kami banggakan karena hasil keringat kerja yang selama ini kami simpan. 

Di  kawasan Alam Sutera Serpong, istana kami berdiri megah di tahun 1998. Rumah mungil berhalaman luas di belakang, saya tanami beberapa tanaman yang bermanfaat, seperti singkong, cabai dan lain2. Nyaman? Sudah pasti, karena anak-anak dapat bermain dengan leluasa di rumah ini. Juga sekolah yang hanya berjarak kurang dari 2 km, memudahkan aktivitas keluarga sehari-hari. Sempat menikmati selama 5 tahun di rumah ini, selanjutnya kami harus pindah ke kota Makassar.


Rumah Dinas yang cukup besar di Kota Makassar harus kami perbaiki sedikit. Lantai semen yang ditutupi karpet plastik, kami perbaharui dengan lantai keramik, cat rumah kami percantik dengan ornamen yang agak berbeda. Nyaman? Sangat nyaman! Mengingat kota Ujung Pandang tidak terlalu jauh jarak tempuh antar satu tempat tujuan ke tempat tujuan lainnya, sangat mendukung kenyaman hidup kami. Sayangnya... kami hanya dapat menikmati tinggal di kota ini selama 1 tahun 2 bulan. Cukup singkat namun sangat berkesan. Hampir setiap sore saya bisa bermain voli dengan ibu-ibu yang tinggal di asrama dekat rumah. Nilai plus yang saya peroleh, saya 'kuasai' bermain voli, walau tidak dapat dikatakan 'mahir'.

Ke Jakarta kami kembali, tepatnya ke rumah milik kami yang selanjutnya saya katakan 'home base'. Karena selama setahun suami saya harus menyelesaikan sekolah Pasca Sarjananya di Singapura.

Selanjutnya tahun 2005-2006, suami saya berdinas di Kota Surabaya. Walaupun tersedia rumah dinas, saya dan anak-anak tidak boyongan pindah ke kota ini, mengantisipasi perpindahan dinas yang berjangka waktu pendek. Namun ini semua tidak membuat saya lepas tangan dalam penataan rumah. Karena minimal 5 hari dalam sebulan saya pasti mendampingi suami di rumah ini. Pohon Mangga yang rimbun dan kicauan burung2 peliharaan juga meramaikan suasana rumah Surabaya ini. Lokasi melekat dengan kantor suami berdinas, membuat rumah di Surabaya ini cukup ramai. Masa dinas di Surabaya sama dengan masa dinas di Makassar yang hanya 1 tahun  2 bulan, selanjutnya suami berdinas di Sudan, tanpa membawa keluarga.

Kembali ke  'home base' di Jakarta,  saya dan anak-anak melanjutkan aktivitas rutin, anak-anak sekolah dan saya bekerja di kantor. Berlanjut sampai kira-kira tiga tahun.

Boyongan selanjutnya di tahun 2009, adalah ke Ankara, Turki. Di kota ini kami juga mendapat tugas untuk pembukaan kantor atau membangun kembali kantor perwakilan yang sudah tutup sejak tahun 1998. Pilihan pertama kami adalah menempati rumah apartemen. Apartemen yang kami tempati selama setahun ini luasnya 200m persegi, dengan jumlah 3 kamar serta ruang dapur yang luas serta lengkap dengan peralatan modern dan juga ruang keluarga yang nyaman ditambah 1 ruangan dengan istilah 'salon', dimana biasanya bagi orang Turki, di ruangan tersebut adalah ruang entertainment, tapi kami aktifkan sebagai ruang tidur tamu. 









Seiring dengan pemekaran kantor, setahun kemudian kami diharuskan pindah ke rumah bukan apartemen yang cukup representative. Rumah ini memiliki pekarangan cukup luas terdiri dari 3 lantai, plus 1 lantai basement. Dari pengalaman, selera, kebutuhan dan konsultasi dengan ahlinya, kami mendandani rumah megah tersebut dengan sentuhan Indonesia. Nyaman yang kami ciptakan diharapkan bukan hanya untuk kami sekeluarga, tapi nyaman juga bagi tamu-tamu kami yang terdiri dari teman-teman manca negara, dan teman-teman setanah air yang sedang berada di Ankara. 




Saya menyukai taman di halaman depan karena ada bunga Tulip yang siap bermekaran di tiap akhir bulan Maret. Tahukah anda, bunga Tulip akan bermekaran dengan indahnya, apabila tunas yang berbentuk seperti bawang bombay sudah tersentuh lelehan air salju.



Keistimewaan lainnya adalah ada lift di dalam rumah, memudahkan kebutuhan transportasi vertikal. 
Dengan 6 kamar di dalamnya, memungkinkan kami menampung tamu yang perlu bermalam.

Melalui 4 musim selama 3 kali, waktunya kami kembali ke tanah air, ke 'home base' kami. 
Rupanya untuk rumah yang ditinggal pemiliknya selama 3 tahun, walau ada penjaga rumah, perbaikan di beberapa tempat sangat diperlukan untuk mengembalikan  kenyamanannya. Sementara renovasi rumah dilaksanakan, kami mengontrak di cluster lain masih di daerah Alam Sutera, selama 9 bulan.
Sebentar saja, tapi tetap memerlukan tenaga dan pikiran untuk menciptakan sarang nyaman.

Selanjutnya, kami menikmati 'our new home base'. Perlahan kami lengkapi sesuai kebutuhan kami, sekalian mensortir barang-barang lama kami yang sudah tidak kami pakai. Satu ruangan yang sangat saya banggakan adalah ruang 'powder room', dimana kami memasang dinding keramik dekorasi khas Turki di ruangan tersebut. 
 Alhamdulillah, kami dapat menempati rumah kami tersebut selama 4 bulan, sebelum kami harus membangun sarang berikutnya di Surabaya karena perpindahan dinas suami, awal bulan November 2013.


Inilah cara kami sang penjelajah membangun sarang nyaman. Lelah? Tentu saja tidak! Semangat selalu ada, hanya saja sayangnya dengan berlalunya waktu, kami harus bersedia tinggal berdua, disebabkan kedua anak kami yang sebelumnya selalu mengikuti kemanapun kami pergi, harus menetap untuk menyelesaikan studi mereka di kota yang berbeda. 

Di rumah Surabaya ini nyaman yang perlu kami garis bawahi, sama seperti di tempat lainnya selain kota Jakarta, adalah tempat aktivitas yang sangat berdekatan. Waktu satu hari dapat kami manfaatkan dengan sangat efisien.


Layaknya cerita bersambung yang masih berlanjut, kami juga selalu menunggu lanjutan ceritanya..... setelah ini rumah nyaman yang model seperti apa lagi yang akan kami tempati berikutnya. 

By: tanitam@131211 

Sunday, November 3, 2013

Hijrahku

Melangkah untuk lebih dekat dengan Allah SWT serta berjalan di koridor Nya......  

Bismillahirohmannirohim, kumantapkan hati untuk lebih tertutup. Kolbu  ini sudah  lama terpanggil namun terkaburkan dengan nafsu duniawi. Mengapa selalu ingin mengabaikan janji Allah yang sudah pasti, hanya karena hati ragu yang tak berujung.
Malu rasanya mengapa memerlukan waktu yang begitu lama, sedangkan nikmat dan karunia berlimpah tidak henti-hentinya tercurah.


Tak kuingkari hasrat berpenampilan baik dan trendy sesuai standar seleraku di hadapan publik menjadi patokanku berbusana sebelumnya, serta persepsi bahwa berkerudung adalah tidak modis. 
Astaghfirulloh...... Rupanya target cantikku perlu di koreksi..... agar selaras dengan buku manual  Allah SWT, Al-Quran.  
Cantik di hadapan Allah SWT lah yang menjadi standarku sekarang. 



Subhanallah.....teman-teman yang seiman dan sepaham menyambut dengan suka cita serta merangkulku lebih mesra, mendoakan agar terjaga hijrahku dalam berjilbab, walau tak kurang kerabat ada yang kontra.


Ya Allah, mudahkan jalanku untuk taat kepada Mu.

Aamiin.


Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan) dari semesta alam.  (Al'Ankabuut ayat 6)



Semoga share ini dapat menjadi inspirasi buat para sahabat.
by : tanitam@131103






Saturday, July 13, 2013

Hanya Tahta yang Runtuh

By :tanitam@130619

Berbunga bias kata tersurat
Menusuk selaput lembar terkoyak
Tiada arah kautujukan
Mengoyak sukma yang peka

Menjurus sajalah ungkap
Pribadi tepat dibidikan
Kurangi beban terluka
Tiada fitnah tercipta

Bijaksana mengayuh biduk
Bahtera kukuh menantang
Serasi habitat tercipta
Damai sekitar terbentuk nyata

Apakah yang engkau kesalkan
Tumpah berserak hambur berantakan
Biar bicaralah pasti
Bangun serasi guyub sekitar

Hati yang kuat tiada perduli
Karena tujuan tidak berubah
Sayang disayang tahta bergoyang
Sebab tuturan kata salah tertuju

Wednesday, June 19, 2013

Hembusan Angin Asa

by: tanitam@130619

Daun jatuh tertiup angin
Tiada daya melawan hembusan
Terdiam namun bergerak
Terpuruk makin tersudut

Burung camar melawan angin
Pasrah indah seirama sepoian
Bersandar kepakan sayap
Tak lelah mencapai tujuan

Tupai meniti ranting lincah
Ekor coklat menjuntai lentur
Kemana kau ingin pergi
Pijak ringan bagai seindah tembang

Duhai diri yang sedang berhijrah
Buang jauh semua keraguan
Ringan kaki melangkah
Panjat segala asa

Buaian bukan jawaban
Janji pasti terpegang teguh
Pasrah bukan tanpa usaha
Capai janji hari akhir

Tuesday, November 13, 2012

Menyapa, Membuka Pintu Dunia


     Saya  mengadakan riset kecil-kecilan, yaitu dengan menyapa orang yang tidak dikenal di jalan. Reaksi yang terjadi belum tentu seperti prediksi kita, dapat menambah wawasan psikologi awam.


     Ketika bertempat tinggal di Ankara, Turki, setiap 2 kali seminggu saya sempatkan jalan di hutan dekat tempat tinggal saya. Hutan tersebut sangat nyaman untuk warga berolahraga sepanjang hari, baik di musim salju maupun musim panas. Minimal dalam 1 jam berjalan atau berlari saya berpapasan dengan 25 orang. Ketika sedang menjalankan aksi sapa, tidak memandang usia, semua saya tegur. "Gunaydin", "Iyi  Gunlar" ("Good morning", "Have a nice day"). Sebagian besar mereka menyapa kembali, mungkin dari kultur budaya orang Turki yang senang bersapaan,  namun persentasenya lebih banyak warga yang sudah separuh baya membalas sapaan saya, baik wanita maupun pria. Untuk yang lebih muda, biasanya mereka ragu untuk membalas sapaan saya, mungkin karena saya "yabanci" (orang asing).


     Kebiasaan berlari atau berjalan di hutan kota, saya lanjutkan ketika saya kembali ke rumah tinggal saya di kawasan Serpong. Beruntung saya tinggal di kawasan ini karena sisi pejalan kaki tersedia sepanjang kawasan dan dinaungi dengan pepohonan yang rindang.
Otomatis setelah lama tinggal di Ankara, saya menjadi warga baru lagi di lingkungan rumah tinggal ini. Banyak orang yang tidak saya kenal berpapasan dengan saya di area pejalan kaki ini. Saya lanjutkan aksi sapa saya kepada orang yang belum saya kenal di jalan. Ternyata sebagian besar reaksinya adalah ragu untuk membalas, walau saya senang karena beberapa orang tanpa ragu balas sapaan saya meskipun hanya dengan tersenyum.
Pagi ini, ketika saya sudah letih berlari, sambil melamun saya berjalan pulang, malah saya yang dikejutkan oleh sapaan ibu2 penyapu jalan, "berolah raga, bu?" Spontan saya jawab, "iya bu, mari." Senang sekali saya disapa seperti itu. Langsung melunturkan teori saya tentang orang Indonesia yang sudah malas beramah tamah.


     Sekitar 7 tahun yang lalu, selama setahun saya terpisah dengan suami saya karena alasan pekerjaan. Suami bekerja di Surabaya dan saya di Tangerang. Setiap 2 minggu di akhir pekan saya menengok suami di Surabaya dengan pesawat terbang. Pada setiap kesempatan tidak saya sia-siakan untuk tidak menegur teman duduk saya di bangku sebelah. "Selamat sore, pak/bu, apakah bapak/ibu tinggal di Surabaya?" Biasanya inilah kalimat pembuka saya untuk menyapa orang. Reaksi yang saya dapatkan sangat bervariasi, ada yang hanya menjawab seperlunya, tapi ada juga yang jadi bercerita panjang lebar tentang dirinya bahkan sedikit curhat. Ha ha ha....enggak apa-apa, setidaknya saya punya pembanding antara kisah hidupnya dengan kisah hidup saya sendiri, yang pada akhirnya saya selalu bersyukur bagaimana Allah sangat sayang telah memberikan yang lebih baik kepada saya.

     Suatu ketika saya mendapatkan teman seperjalanan seorang bapak yang sangat serius dengan bisnisnya. Reaksi pertama dari sapaan saya adalah hanya iya atau tidak. Karena tidak dapat respon yang hangat, maka saya penasaran pengen mengupas lebih jauh lagi, tipe bapak seperti apakah orang ini? Makanya tanpa ditanya saya lanjut saja bercerita bagaimana senangnya saya dan keluarga pergi ke Taman Safari Jawa Timur. Rupanya bapak tersebut tidak pernah mengajak keluarganya berjalan-jalan selain ke mall di Surabaya, karena alasan kesibukan bisnisnya.  Anak2nya sekitar 5 tahun dan 7 tahun, istrinya adalah ibu rumah tangga. Timbul gagasan misi untuk membantu istri dan anak-anaknya supaya diajak berpergian dengan lebih menyenangkan (menurut saya), maka dengan gaya yang menarik saya pengaruhi bagaimana liburan yang berbeda dapat diciptakan dengan tidak sekedar jalan di mall. Rupanya cerita saya ini menggugah perhatiannya, sehingga perjalanan sekitar 1 jam itu menjadi sangat mengasyikkan. Di akhir perjalanan, dengan antusias bapak tersebut bertekad untuk membawa keluarga berlibur tidak hanya ke mall. Yes, terbayang wajah bahagia keluarganya di rumah apabila bapak yang sibuk ini menawarkan liburan yang berbeda.

     Dengan menyapa orang yang belum dikenal, lebih memberikan efek positif bagi saya. Walaupun kisah yang dituturkan lawan bicara tidak selalu beraura positif.  Pada akhirnya saya dapat menginti-sarikan satu benang merah kehidupan. Dimana sebenarnya kebahagiaan kita adalah tentang diri kita sendiri. Kalau lawan bicara kita sedang punya masalah, ada aura negatif yang jangan turut kita serap, tapi malah kita netralkan.


     Pada suatu ketika, saya mengantarkan tamu yang berlibur ke Capadocia. Dimana tempat wisata ini sangat terkenal di seluruh dunia sehingga turisnyapun selalu dari pelosok belahan dunia. Saya sendiri sudah beberapa kali berkunjung ke tempat wisata itu sehingga yang menarik buat saya adalah keberagaman pengunjungnya. Melihat ada rombongan dari Indonesia, saya mencoba menyapa dengan bertanya kepada salah seorang dari rombongan yang sedang berjalan di tangga," Bapak dari Indonesia ya?" Bukannya mau ngagetin, tapi ko' sepertinya bapak yang kira-kira berusia 30 tahun itu terkejut disapa saya dalam bahasa Indonesia. Dan jawabannya pun adalah, "Yes, we are from Indonesia." Kali ini saya yang terkejut, bapak ini tadi ngomong sama temennya pake bahasa Indonesia, tapi ko' disapa saya yang juga orang Indonesia jadi pake bahasa Inggris ya?? Mungkin harus begitu ya reaksinya disapa orang yang belum dikenal di negeri asing. Ha ha ha... setiap mengenang kejadian itu saya tergelak sendiri. Keinginan saya untuk ngobrol dengan berbasabasi ala Indonesia jadi gagal, karena bapak tadi sepertinya tidak berani saya sapa, dia langsung ngeloyor ninggalin saya bergabung dengan rombongannya. Hhhmm.... saya malah kasihan sama dia, sebetulnya apa yang mengancam dia dalam hidupnya ya?

     Saya pernah tidak yakin dengan penampilan 3 orang lelaki tanggung berbadan tegap yang mau tidak mau pasti berpapasan di area pejalan kaki sekitar rumah. Sudah dari jarak 20 langkah saya yakinkan hati bahwa mereka adalah orang-orang baik, dengan sedikit keraguan dalam menilai penampilan mereka. Niat menjalankan aksi sapa hampir luntur, tapi dengan berdoa supaya semua berjalan positif, saya sapa juga rombongan tersebut dengan detak jantung tak karuan. Plong!! Mereka membalas sapaan saya dengan manis tanpa ada sedikitpun kesan menggoda.
Nah itulah persisnya yang saya maksud, dengan segala macam persepsi yang ada di kepala kita, kita tidak bisa menilai seseorang hanya dengan mengira-ngira. Setidaknya demikianlah cara kita mengintip ke dunia orang yang belum kita kenal tersebut dengan menyapanya.


Tuesday, August 7, 2012

Bukan Kelam Ku


Mengapa kau pilih warna hitam, kawan
Sementara warna cerah bisa juga kau jadikan warnamu
Mengapa kau begitu membara, sobat
Sementara angin sejuk beranjak dingin di luar sana

Tidakkah ingin kau nikmati taman yang penuh bunga ini
Tidakkah ingin kau merangkul sahabat  lebih dari bentangan tanganmu
Kalau saja kau memaknai hidup yang fana ini
Maka akan terasa kurang waktu untuk memeliharanya

Semut rang-rang ingin juga hidup
Meski dia dapat menyengatmu sakit
Namun Jerapah dengan leher tinggi menjulang
Bisa juga merendahkan kepalanya

Ragukah akan pesona jiwa yang tulus
Dimana simpul-simpul dapat terurai lepas
Tangan-tangan lembut begitu ringan menari
Meredam kilatan dalam kalbu

Jadikan badaimu awan selembut kapas
Jadikan sinar auramu semeriah pelangi
Bersama mentari terangi setiap relung hati
Menyaksikan rembulan bercahaya di langit yang kelam



Puisi : Bukan kelam ku
Ankara, 7 Agustus 2012



Monday, July 16, 2012

Gado-gado Umroh


       Perjalanan Umroh di bulan Januari sangatlah menyenangkan.  Udara sejuk, sekitar 12 drajat C di Mekah dan 4 drajat C di Medinah. Pada tanggal 18 Januari 2012, kami sekeluarga melakukannya, sesuai dengan rencana kami sejak 2 tahun lalu.

     3 jam terbang dari Istanbul, kami segera mendarat di Jedah pukul 2 dini hari, kami langsung melakukan ibadah umroh.
Berikut adalah beberapa catatan dan buah pikiran selama saya berada di Mekah, Medinah dan Jeddah.



     Kalau kamu mau dikenali sebagai muslimah dari Indonesia di Mekah atau Medinah, pakailah mukena, penutup kepala yang sangat tegas menunjukkan identitas kita (walau bisa mirip juga dengan muslimah dari Malaysia). Saya sendiri senang menunjukkan hal ini apabila sedang melaksanakan ibadah sholat di Masjidil Haram maupun di Nabawi. Karena muslimah lokal atau dari Negara Arab lainnya seperti punya kesepakatan mode, menggunakan hijab berwarna hitam. Sangat mudah untuk janjian dengan Chani (anak tertua saya) apabila terpisah di keramaian Masjid. Dengan melihat mukena putih di antara lautan warna hitam Chani langsung dapat mengenali saya.




     Ada cerita lucu pada saat saya sedang berjalan-jalan di pertokoan di sekitar mesjid Nabawi. Pada saat itu saya mengenakan abaya berkembang dan kerudung bergaya Turki, maklum karena sudah 2 tahun terakhir kami tinggal di Ankara, maka baju muslimpun saya lengkapi dari pasar Ulus. Melihat muka saya yang agak oriental, ada 2 orang TKW yang sedang membahas saya dengan bahasa Indonesia yang agak keras. “Eh…lihat deh mba, orang di sebelah kirimu,” kata mba yang bertubuh sedang kepada temannya. “Kira-kira orang mana ya?” sambungnya. Dengan ringan si mba satunya menjawab, “Sepertinya orang itu berasal dari Negara Ce-I-eN-A deh.” Saya pun langsung tersenyum dan dalam hati terbahak, tanpa berniat untuk membenarkan dugaan mereka terhadap saya. Mungkin akan berbeda dugaan mereka terhadap saya apabila saya mengenakan mukena pada saat itu.


     Pemandangan yang agak mencengangkan saya ketika di mesjid Nabawi. Terakhir Sholat disana adalah tahun 2001, sudah sebelas tahun lalu, dengan segala perubahannya. Sekarang ada toko baju anak muda yang sangat terkenal dari Swedia, persis di pintu masuk mesjid. Ketika saya berkesempatan mampir, terlihat antrian panjang di depan kasir, namun semuanya memakai hijab hitam. Terbayang dalam pikiran saya, bahwa di balik baju hitam itu, anak-anak muda yang modis ini sebetulnya berpakaian anak gaul seperti remaja pada umumnya di Jakarta atau di Ankara.


     Baru keluar dari masjidil haram selesai sholat ashar, di pelataran ada ibu-ibu muda berbisik di telinga saya, “mbak beli gado-gadonya, mbak.” Namun karena tidak menyangka akan ditegur dalam bahasa Indonesia, sayapun terus berjalan. Baru setelah beberapa langkah saya sadar bahwa penjaja makanan tadi khusus menawarkan dagangan dalam tas plastiknya kepada saya. Sayang perut tidak terlalu lapar saat itu, walaupun terbayang juga nikmatnya makan makanan dengan cita rasa Indonesia di Mekah. Berharap dilain kesempatan akan ada lagi penjaja makanan, ternyata saya tidak beruntung. Maklum saat itu bukan saatnya rombongan umroh dari Indonesia, jadi sedikit pula penjaja makanan yang beredar.